My Girlfriend’s Secret (Cerpen ketiga dari 7 Cowok 7 Cerita)
“La, ntar aku mampir ke rumah ya?”
“Nggak.”
Itulah yang selalu dijawab cewek gue – Lala – setiap gue mengajukan pertanyaan yang sama. Hampir setahun pacaran dengan cewek itu, tapi sekali pun gue nggak pernah diijinin barang mampir ke rumahnya. Tidak sekalipun!
“Berhenti di sini aja, Jes,” kata Lala begitu mobil yang gue kendarain sampe di depan jalan kecil menuju rumah cewek itu. Rumah cewek itu berjarak sepuluh rumah lagi dari mulut jalan ini. Hanya ini jarak terdeket yang gue tapaki semenjak pacaran sama Lala. Hanya sampe di depan mulut jalan ini aja. Ngenes!
“Besok mau aku jemput?” tanya gue begitu Lala hendak turun dari mobil.
Lala mengangguk. “Tapi aku tunggu di mini market sana ya,” kata Lala sambil menunjuk sebuah mini market yang ada di seberang jalan.
Lagi-lagi mini market itu menjadi tempat gue jemput si Lala. Gue mendesah pelan. “Iya deh.”
“See ya!” kata Lala manis. Cewek itu melambai ke arah gue, lalu berjalan menyusuri jalan kecil itu. Setelah gue pastiin dua udah masuk ke rumahnya, gue langsung menginjak pedal gas, dan melesat pergi.
Keesokan harinya di kampus.
“Jasson!” panggil sebuah suara dari arah belakang gue. Gue yang ngerasa dipanggil pun langsung menoleh dan menghentikan langkah gue menuju kelas. Ternyata itu Alan – temen sekelas gue. “Ngapain lo baru dateng jam segini?” tanya Alan begitu dia sudah mensejajarkan jaraknya dengan gue.
“Gue nganter Lala dulu ke kelasnya,” jawab gue sekenanya. Lalu gue dan Alan melanjutkan langkah kami menuju kelas. “Lo sendiri, dari mana tadi?”
Alan langsung cengengesan. “Biasa, ngecengin anak semester satu,” katanya kalem. “Betewe, lo udah dikasi nginjekin kaki di rumahnya Lala?” sambungnya.
“Kalo tampang gue kayak gini, menurut lo?” gue balik nanya sambil nunjuk muka gue yang pagi itu kuyu banget.
Alan mesem. “Kira-kira kenapa ya si Lala nggak ngasi lo dateng ke rumahnya?” tanya Alan. Gue cuma bisa mengedikkan bahu. “Kayaknya cewek lo nyimpen rahasia di rumahnya,” lanjutnya.
Sontak gue menoleh ke arah Alan. “Rahasia apaan?”
“Siapa tau di luar sepengetahuan lo, ternyata Lala sering ngajak cowok laen ke rumahnya. Makanya dia nggak ngijinin lu ke rumahnya,” cecer Alan.
“Nggak mungkin, hubungan kami tuh serius. Udah nggak jaman selingkuhan-selingkuhan gitu,” tukas gue.
Alan manggut-manggut. “Atau… Bokap-nyokapnya galak. Makanya dia nggak ngijinin lo ke rumahnya.”
“Bokap-nyokapnya udah lama cerai. Sekarang dia cuma tinggal sama nyokapnya doang. Tapi… waktu itu gue sempet ketemu sama nyokapnya Lala pas dia nganterin nyokapnya belanja bulanan, dan kebetulan gue juga lagi nganterin nyokap gue, trus gue dikenalin ke nyokapnya. Emang sih pas pertama kali kenalan sama gue, nyokapnya agak aneh, tapi lama-lama biasa aja tuh. Nyokapnya baik,” cerita gue.
Alan kembali manggut-manggut. “Trus kenapa dong?”
“Ya mana gue tau!” kata gue nyaris membentak. “Kalo gue minta mampir, alesannya pasti kayak gini, ‘nggak usah, Jes. Jalan di rumah aku kan kecil, nanti kamu susah muter mobilnya,’ atau, ‘kapan-kapan aja, Jes. Kamu kan capek seharian kuliah,’” tambah gue.
Kami udah hampir sampe di kelas. Tiba-tiba Alan menghentikan langkahnya. “Lo tadi bilang kalo hubungan kalian serius?” tanyanya seraya menatap gue serius. Gue cuma bisa ngangguk. “Lo tau tanda kalo sepasang cewek-cowok serius sama hubungann mereka?” tanya Alan kembali. Tapi tanpa menunggu jawaban gue, cowok spiky itu kembali melanjutkan, “Si cowok diijinin dateng ke rumah si cewek. Sedangkan Lala nggak ngijinin lo dateng ke rumahnya. Itu tandanya si Lala nggak serius!” tandas Alan.
Dan sialnya, gue kemakan sama omongan orang itu!
Selama beberapa hari gue kepikiran sama kata-katanya Alan. Apa mungkin Lala nggak serius sama gue?
Lalu gue melirik kalender yang tergantung di dinding kamar gue. Hari ini hari sabtu! Gue langsung melompat bangun. Biasanya kalo malem minggu, cowok-cowok selalu ngapel ke rumah ceweknya. Sedangkan gue sendiri? Jangan ditanya lagi deh. Malem minggu ini gue ngerasa jomblo. Gue sama Lala emang nggak pernah punya jadwal khusus buat pacaran. Kalo emang lagi pengen jalan ya jalan, kalo nggak pengen jalan ya di rumah. Dan tadi sehabis kuliah, Lala bilang kalo malem ini dia nggak pengen ke mana-mana. Itu artinya Lala di rumah. Lala di rumah!
Kenyataan itu menghantam gue. Kalo Lala nggak tau gue bakal ke rumahnya, Lala nggak bakal bisa ngomong apa. Seenggaknya gue harus tau apa alesan Lala selama ini nggak ngijinin gue ke rumahnya. Apa pun resikonya, bakal gue tanggung. Gue langsung siap-siap. Dengan mengenakan kemeja flannel dan celana jins, gue siap-siap ke rumah Lala. Sebelumnya gue mampir dulu ke toko bunga yang gue lewatin, dan beli sebuket bunga chrisan. Gue markir mobil gue di mini market itu. Gue cek penampilan gue sekali lagi di kaca mobil. Rambut oke, tampang oke, baju oke, bunga oke. Gue langsung melangkah menuju rumah cewek gue.
Gue udah berdiri di depan pintu pager rumah Lala. Sejenak gue menarik nafas, lalu menghembuskannya perlahan. Sumpah, gue deg-degan! Gue mendorong pintu pager yang tingginya cuma sebates dada gue itu. Untung pagernya nggak dikunci. Gue melangkahkan kaki gue menyusuri halaman yang dihiasi rumput mutiara itu. Halamannya luas, banyak pohon-pohon yang ditanem.. Langkah gue terasa berat. Rasanya itu seperti hmmm… seperti lo nekat dateng ke rumah pacar lo, tapi sebenernya lo nggak diijinin. Lho… kok gue jadi ikut-ikutan perumpamaannya si poconggg? Haah. Lupakan!
Gue udah hampir sampe di depan pintu masuk rumah berlantai satu itu. Sekali lagi gue menarik napas panjang begitu gue udah berdiri di undakan teras rumah Lala.
“LA…” Gue hendak manggil Lala, tapi kata-kata gue tercekat mendengar suara di belakang gue.
“GUK!” Gue langsung menoleh kaget. “GUK! GUK! Gggrrrrr!”
Ebusseeeet. Singaaaaa!!!
“GUK!” Dengan satu hantakan keras, binatang besar itu berlari ke arah gue. Refleks gue juga ikutan lari. Gue lari pontang-panting menghindari binatang itu. Itu adalah anjing Golden terbesar di dunia!
“GUK! GUK! GUK!” Anjing itu terus berlari mengejar gue. Gue hampir kehabisan napas lari-larian di halaman rumah Lala yang segede kingkong itu, tapi sama sekali nggak muncul pertolongan. Sampe akhirnya gue milih manjat salah satu pohon mangga ceking di halaman itu. Dan bertengger di atasnya. Gue was-was, takut pohon ini roboh. Tapi kayaknya ni pohon cukup kuat nopang berat badan gue. Untungnya anjing itu nggak bisa menjangkau gue. Dia tetep gong-gong di bawah, loncat-loncat berharap tuh anjing bisa nyeret gue turun.
Selang beberapa waktu, akhirnya muncul juga pertolongan. Pintu masuk rumah Lala kebuka, dan mama Lala muncul dari dalamnya. Mama Lala keliatan kaget melihat pemandangan di halaman rumahnya.
“JASSON!” seru mama Lala dari ambang pintu. Gue pun langsung menoleh kaget. “JASSON, SINI!” serunya sekali lagi.
“Tapi ada anjing, Tante,” gue balas berseru. Anjing di bawah gue masih terus menggong-gong. Gue tambah panik.
Tapi mama Lala seperti nggak mendengarkan seruan gue. “JASSON, SINI!”
“Tapi, Tanteee…” kata gue sambil melas. Ajing itu makin menjadi-jadi.
“JASSON, DIEM!” seru mama Lala sembari berjalan mendekat.
“Iya, saya diem.”
“JASSON, DIEM!”
“Iya. Diem. Diem,” kata gue pada diri sendiri.
Mama Lala sudah berada di bawah gue, dan berusaha menenangkan anjing besar itu.
“Jasson, duduk!” perintah mama Lala.
Lho?
“Jasson, duduk!” perintah mama Lala sekali lagi. Gue mengerutkan kening gue menyaksikan mama Lala yang sedang menenangkan anjing itu. Setelah perjuangan antara hidup dan mati, akhirnya anjing itu tenang juga. Mama Lala langsung mendongak ke arah gue. Dengan seluruh sesal yang dimilikinya, wanita itu berkata, “Maaf ya, Nak Jasson. Anjing kami namanya Jasson juga.”
Krrrriiiiyyaaaakkk!!! Gue seperti mendengar suara kayu yang patah. Selang beberapa detik, gue beserta pohon mangga yang menjadi tempat gue bertengger tumbang.
“Maaf ya, Jess,” kata Lala sambil menempelkan plester ke luka di kening gue. Saat itu kami sudah berada di dalam ruang tamu Lala yang nyaman, lepas dari si Jasson Junior. Sumpah, gue nggak nyangka banget dengernya. Ternyata binatang buas itu punya nama yang sama kayak gue. Namanya sama kayak gue!
“Kenapa minta maaf?” tanya gue sambil menahan rasa sakit di kening akibat ketimpa pohon mangga tadi.
“Emang kamu nggak marah?” Lala balik nanya.
“Kenapa harus marah?”
“Emang kamu nggak marah nama kamu sama kayak nama anjing aku?” kata Lala polos.
Gue cuma bisa menatap Lala bingung. Tak lama gue tergelak. “Hahaha. Enggak lah,” tukas gue. Walopun dalem hati masih agak-agak nggak terima juga. “Lagian kamu ngasi nama anjing bagus banget sih?”
Lala meringis. “Sebenernya aku terkejut waktu tau nama kamu ternyata mirip sama nama anjing aku. Makanya aku nggak pernah ngasi kamu ke sini, aku takut kamu marah,” katanya, sekali lagi masih tetep polos.
Gue speechless…
“Berarti kamu nggak pernah ngasi aku dateng ke rumah cuma gara-gara hal ini doang?” gue memastikan. Lala mengangguk. “Bukan gara-gara kamu nggak serius sama aku?” tambah gue.
Lala melongo. “Kok kamu berpikir kayak gitu?”
“Alan yang ngomong.”
Sekali lagi Lala meringis. “Enggak lah. Lagian Alan kamu dengerin. Aku kan udah bilang dari awal kalo aku mau serius sama kamu.”
“Sungguh?” kata gue norak. Lala tergalak. “Berarti kapan-kapan aku maen lagi ke sini masih boleh, kan?”
“Selama kamu nggak takut sama Jasson,” jawab Lala manis.
“Jasson mah kecil,” dusta gue sambil menjentikkan jari. Gue masih keinget gimana seremnya Jasson yang punya badan segede singa itu.
Kami berdua lalu tertawa bersama. Lama kami terdiam dan saling memandang satu sama lain. Sampe gue merasa ini adalah saat yang tepat. Gue mendekat ke arah Lala, sedangkan cewek gue itu tetep diem di tempatnya. Lalu cewek itu memejamkan matanya. Gue makin dekat… makin dekat… sampai gue merasa jarak gue dan Lala tinggal beberapa senti lagi… Sejenak gue tertegun. Ada yang mengendus-endus kuping gue. Gue refleks menoleh. Sebuah moncong lembab dan bau, menjulang hanya beberapa senti dari muka gue.
“GUK!”
“Aaaaaakkkkkhhhh!!!”
***
I hope you like it
nittak ^^
“La, ntar aku mampir ke rumah ya?”
“Nggak.”
Itulah yang selalu dijawab cewek gue – Lala – setiap gue mengajukan pertanyaan yang sama. Hampir setahun pacaran dengan cewek itu, tapi sekali pun gue nggak pernah diijinin barang mampir ke rumahnya. Tidak sekalipun!
“Berhenti di sini aja, Jes,” kata Lala begitu mobil yang gue kendarain sampe di depan jalan kecil menuju rumah cewek itu. Rumah cewek itu berjarak sepuluh rumah lagi dari mulut jalan ini. Hanya ini jarak terdeket yang gue tapaki semenjak pacaran sama Lala. Hanya sampe di depan mulut jalan ini aja. Ngenes!
“Besok mau aku jemput?” tanya gue begitu Lala hendak turun dari mobil.
Lala mengangguk. “Tapi aku tunggu di mini market sana ya,” kata Lala sambil menunjuk sebuah mini market yang ada di seberang jalan.
Lagi-lagi mini market itu menjadi tempat gue jemput si Lala. Gue mendesah pelan. “Iya deh.”
“See ya!” kata Lala manis. Cewek itu melambai ke arah gue, lalu berjalan menyusuri jalan kecil itu. Setelah gue pastiin dua udah masuk ke rumahnya, gue langsung menginjak pedal gas, dan melesat pergi.
Keesokan harinya di kampus.
“Jasson!” panggil sebuah suara dari arah belakang gue. Gue yang ngerasa dipanggil pun langsung menoleh dan menghentikan langkah gue menuju kelas. Ternyata itu Alan – temen sekelas gue. “Ngapain lo baru dateng jam segini?” tanya Alan begitu dia sudah mensejajarkan jaraknya dengan gue.
“Gue nganter Lala dulu ke kelasnya,” jawab gue sekenanya. Lalu gue dan Alan melanjutkan langkah kami menuju kelas. “Lo sendiri, dari mana tadi?”
Alan langsung cengengesan. “Biasa, ngecengin anak semester satu,” katanya kalem. “Betewe, lo udah dikasi nginjekin kaki di rumahnya Lala?” sambungnya.
“Kalo tampang gue kayak gini, menurut lo?” gue balik nanya sambil nunjuk muka gue yang pagi itu kuyu banget.
Alan mesem. “Kira-kira kenapa ya si Lala nggak ngasi lo dateng ke rumahnya?” tanya Alan. Gue cuma bisa mengedikkan bahu. “Kayaknya cewek lo nyimpen rahasia di rumahnya,” lanjutnya.
Sontak gue menoleh ke arah Alan. “Rahasia apaan?”
“Siapa tau di luar sepengetahuan lo, ternyata Lala sering ngajak cowok laen ke rumahnya. Makanya dia nggak ngijinin lu ke rumahnya,” cecer Alan.
“Nggak mungkin, hubungan kami tuh serius. Udah nggak jaman selingkuhan-selingkuhan gitu,” tukas gue.
Alan manggut-manggut. “Atau… Bokap-nyokapnya galak. Makanya dia nggak ngijinin lo ke rumahnya.”
“Bokap-nyokapnya udah lama cerai. Sekarang dia cuma tinggal sama nyokapnya doang. Tapi… waktu itu gue sempet ketemu sama nyokapnya Lala pas dia nganterin nyokapnya belanja bulanan, dan kebetulan gue juga lagi nganterin nyokap gue, trus gue dikenalin ke nyokapnya. Emang sih pas pertama kali kenalan sama gue, nyokapnya agak aneh, tapi lama-lama biasa aja tuh. Nyokapnya baik,” cerita gue.
Alan kembali manggut-manggut. “Trus kenapa dong?”
“Ya mana gue tau!” kata gue nyaris membentak. “Kalo gue minta mampir, alesannya pasti kayak gini, ‘nggak usah, Jes. Jalan di rumah aku kan kecil, nanti kamu susah muter mobilnya,’ atau, ‘kapan-kapan aja, Jes. Kamu kan capek seharian kuliah,’” tambah gue.
Kami udah hampir sampe di kelas. Tiba-tiba Alan menghentikan langkahnya. “Lo tadi bilang kalo hubungan kalian serius?” tanyanya seraya menatap gue serius. Gue cuma bisa ngangguk. “Lo tau tanda kalo sepasang cewek-cowok serius sama hubungann mereka?” tanya Alan kembali. Tapi tanpa menunggu jawaban gue, cowok spiky itu kembali melanjutkan, “Si cowok diijinin dateng ke rumah si cewek. Sedangkan Lala nggak ngijinin lo dateng ke rumahnya. Itu tandanya si Lala nggak serius!” tandas Alan.
Dan sialnya, gue kemakan sama omongan orang itu!
Selama beberapa hari gue kepikiran sama kata-katanya Alan. Apa mungkin Lala nggak serius sama gue?
Lalu gue melirik kalender yang tergantung di dinding kamar gue. Hari ini hari sabtu! Gue langsung melompat bangun. Biasanya kalo malem minggu, cowok-cowok selalu ngapel ke rumah ceweknya. Sedangkan gue sendiri? Jangan ditanya lagi deh. Malem minggu ini gue ngerasa jomblo. Gue sama Lala emang nggak pernah punya jadwal khusus buat pacaran. Kalo emang lagi pengen jalan ya jalan, kalo nggak pengen jalan ya di rumah. Dan tadi sehabis kuliah, Lala bilang kalo malem ini dia nggak pengen ke mana-mana. Itu artinya Lala di rumah. Lala di rumah!
Kenyataan itu menghantam gue. Kalo Lala nggak tau gue bakal ke rumahnya, Lala nggak bakal bisa ngomong apa. Seenggaknya gue harus tau apa alesan Lala selama ini nggak ngijinin gue ke rumahnya. Apa pun resikonya, bakal gue tanggung. Gue langsung siap-siap. Dengan mengenakan kemeja flannel dan celana jins, gue siap-siap ke rumah Lala. Sebelumnya gue mampir dulu ke toko bunga yang gue lewatin, dan beli sebuket bunga chrisan. Gue markir mobil gue di mini market itu. Gue cek penampilan gue sekali lagi di kaca mobil. Rambut oke, tampang oke, baju oke, bunga oke. Gue langsung melangkah menuju rumah cewek gue.
Gue udah berdiri di depan pintu pager rumah Lala. Sejenak gue menarik nafas, lalu menghembuskannya perlahan. Sumpah, gue deg-degan! Gue mendorong pintu pager yang tingginya cuma sebates dada gue itu. Untung pagernya nggak dikunci. Gue melangkahkan kaki gue menyusuri halaman yang dihiasi rumput mutiara itu. Halamannya luas, banyak pohon-pohon yang ditanem.. Langkah gue terasa berat. Rasanya itu seperti hmmm… seperti lo nekat dateng ke rumah pacar lo, tapi sebenernya lo nggak diijinin. Lho… kok gue jadi ikut-ikutan perumpamaannya si poconggg? Haah. Lupakan!
Gue udah hampir sampe di depan pintu masuk rumah berlantai satu itu. Sekali lagi gue menarik napas panjang begitu gue udah berdiri di undakan teras rumah Lala.
“LA…” Gue hendak manggil Lala, tapi kata-kata gue tercekat mendengar suara di belakang gue.
“GUK!” Gue langsung menoleh kaget. “GUK! GUK! Gggrrrrr!”
Ebusseeeet. Singaaaaa!!!
“GUK!” Dengan satu hantakan keras, binatang besar itu berlari ke arah gue. Refleks gue juga ikutan lari. Gue lari pontang-panting menghindari binatang itu. Itu adalah anjing Golden terbesar di dunia!
“GUK! GUK! GUK!” Anjing itu terus berlari mengejar gue. Gue hampir kehabisan napas lari-larian di halaman rumah Lala yang segede kingkong itu, tapi sama sekali nggak muncul pertolongan. Sampe akhirnya gue milih manjat salah satu pohon mangga ceking di halaman itu. Dan bertengger di atasnya. Gue was-was, takut pohon ini roboh. Tapi kayaknya ni pohon cukup kuat nopang berat badan gue. Untungnya anjing itu nggak bisa menjangkau gue. Dia tetep gong-gong di bawah, loncat-loncat berharap tuh anjing bisa nyeret gue turun.
Selang beberapa waktu, akhirnya muncul juga pertolongan. Pintu masuk rumah Lala kebuka, dan mama Lala muncul dari dalamnya. Mama Lala keliatan kaget melihat pemandangan di halaman rumahnya.
“JASSON!” seru mama Lala dari ambang pintu. Gue pun langsung menoleh kaget. “JASSON, SINI!” serunya sekali lagi.
“Tapi ada anjing, Tante,” gue balas berseru. Anjing di bawah gue masih terus menggong-gong. Gue tambah panik.
Tapi mama Lala seperti nggak mendengarkan seruan gue. “JASSON, SINI!”
“Tapi, Tanteee…” kata gue sambil melas. Ajing itu makin menjadi-jadi.
“JASSON, DIEM!” seru mama Lala sembari berjalan mendekat.
“Iya, saya diem.”
“JASSON, DIEM!”
“Iya. Diem. Diem,” kata gue pada diri sendiri.
Mama Lala sudah berada di bawah gue, dan berusaha menenangkan anjing besar itu.
“Jasson, duduk!” perintah mama Lala.
Lho?
“Jasson, duduk!” perintah mama Lala sekali lagi. Gue mengerutkan kening gue menyaksikan mama Lala yang sedang menenangkan anjing itu. Setelah perjuangan antara hidup dan mati, akhirnya anjing itu tenang juga. Mama Lala langsung mendongak ke arah gue. Dengan seluruh sesal yang dimilikinya, wanita itu berkata, “Maaf ya, Nak Jasson. Anjing kami namanya Jasson juga.”
Krrrriiiiyyaaaakkk!!! Gue seperti mendengar suara kayu yang patah. Selang beberapa detik, gue beserta pohon mangga yang menjadi tempat gue bertengger tumbang.
“Maaf ya, Jess,” kata Lala sambil menempelkan plester ke luka di kening gue. Saat itu kami sudah berada di dalam ruang tamu Lala yang nyaman, lepas dari si Jasson Junior. Sumpah, gue nggak nyangka banget dengernya. Ternyata binatang buas itu punya nama yang sama kayak gue. Namanya sama kayak gue!
“Kenapa minta maaf?” tanya gue sambil menahan rasa sakit di kening akibat ketimpa pohon mangga tadi.
“Emang kamu nggak marah?” Lala balik nanya.
“Kenapa harus marah?”
“Emang kamu nggak marah nama kamu sama kayak nama anjing aku?” kata Lala polos.
Gue cuma bisa menatap Lala bingung. Tak lama gue tergelak. “Hahaha. Enggak lah,” tukas gue. Walopun dalem hati masih agak-agak nggak terima juga. “Lagian kamu ngasi nama anjing bagus banget sih?”
Lala meringis. “Sebenernya aku terkejut waktu tau nama kamu ternyata mirip sama nama anjing aku. Makanya aku nggak pernah ngasi kamu ke sini, aku takut kamu marah,” katanya, sekali lagi masih tetep polos.
Gue speechless…
“Berarti kamu nggak pernah ngasi aku dateng ke rumah cuma gara-gara hal ini doang?” gue memastikan. Lala mengangguk. “Bukan gara-gara kamu nggak serius sama aku?” tambah gue.
Lala melongo. “Kok kamu berpikir kayak gitu?”
“Alan yang ngomong.”
Sekali lagi Lala meringis. “Enggak lah. Lagian Alan kamu dengerin. Aku kan udah bilang dari awal kalo aku mau serius sama kamu.”
“Sungguh?” kata gue norak. Lala tergalak. “Berarti kapan-kapan aku maen lagi ke sini masih boleh, kan?”
“Selama kamu nggak takut sama Jasson,” jawab Lala manis.
“Jasson mah kecil,” dusta gue sambil menjentikkan jari. Gue masih keinget gimana seremnya Jasson yang punya badan segede singa itu.
Kami berdua lalu tertawa bersama. Lama kami terdiam dan saling memandang satu sama lain. Sampe gue merasa ini adalah saat yang tepat. Gue mendekat ke arah Lala, sedangkan cewek gue itu tetep diem di tempatnya. Lalu cewek itu memejamkan matanya. Gue makin dekat… makin dekat… sampai gue merasa jarak gue dan Lala tinggal beberapa senti lagi… Sejenak gue tertegun. Ada yang mengendus-endus kuping gue. Gue refleks menoleh. Sebuah moncong lembab dan bau, menjulang hanya beberapa senti dari muka gue.
“GUK!”
“Aaaaaakkkkkhhhh!!!”
***
I hope you like it
nittak ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar