Kamis, 24 November 2011

Canda (Cerpen Keenam dari 7 Cowok 7 Cerita)

Canda (Cerpen Keenam dari 7 Cowok 7 Cerita)

Apa lo pernah hidup dalam keterpura-puraan? Kalo lo nanya gue, gue bakal jawab, “Ya, gue pernah.” Anyway, kenalian dulu nama gue Irgi. Setahun yang lalu gue baru aja lulus kuliah dan sekarang gue lagi merintis usaha advertising sejak 8 bulan terakhir ini dengan omset yang diluar dugaan gue. Oke, balik lagi ke topik sebelumnya, Ngomongin tentang keterpura-puraan, gue akuin gue emang pernah pura-pura. Pura-pura dalam kamus gue bisa gue artiin sebagai kebohongan kecil. Tapi kebohongan kecil itu ternyata berdampak besar bagi kehidupan gue, dari pertama gue masuk SMA dan sampai saat ini. Selama tiga tahun, gue pernah pura-pura nggak suka sama cewek yang sebenernya gue suka setengah mati. Gue suka sama dia sejak namanya pertama kali disebut guru. Waktu itu gue masih murid baru dan guru lagi ngabsen, seketika perhatian gue langsung terlalih oleh satu nama yang gue rasa bener-bener unik, Canda.
            Badannya mungil, itu yang gue tangkep pertama kali dari sosok Canda. Tapi setelah beberapa hari gue perhatiin, ternyata cewek itu attractive banget, dia selalu bisa menarik perhatian gue, tampangnya yang manis dan polos ditambah lesung pipi, rambutnya ikal dan panjang yang nggak proporsional buat badannya yang mungil, ketawanya yang selalu ngakak nggak kenal tempat dan waktu, dan satu lagi, ternyata orang tua cewek ini memang pas ngasi dia nama Canda, karena Canda emang suka banget bercanda. Kami semua hampir nggak bisa bedain kapan dia bercanda dan kapan dia serius. Seperti beberapa bulan setelah gue kenal Canda, waktu itu gue lagi berdiri di depan bangkunya dia, dia lagi nulis-nulis sesuatu di bukunya.
            “Duuuh… salah,” katanya. Lalu menghapus bagian yang salah dengan tip-x.
            Tiba-tiba muncul niat gue buat ngisengin dia. “Yaelah, Can. Baru gue berdiri di depan lo aja lo udah grogi. Santai aja dong,” canda gue, lalu tersenyum.
            Canda langsung mendongak dan tersenyum, “Iya nih, gara-gara lo gue jadi grogi,” balasnya sambil meringis. Dengan santai dia kembali menulis di bukunya. Nggak peduli dengan perubahan wajah gue.
            Itu tadi Canda serius atau nggak? bisik gue dalam hati. Tapi teringat sama nada suara Canda yang biasa itu dan sikap santai-cendrung cueknya, gue yakin dia cuma bercanda.
            Sebenernya gue pengen lebih dari sekedar temen sama Canda, gue pengen dia jadi cewek gue, tapi mengingat kami baru kenal, gue mutusin buat PDKT ke dia setelah kami naik ke kelas dua aja. Gue pengen kenal dia lebih jauh sebelum gue ngambil langkah yang lebih serius nanti. Gue juga ngeyakinin sampai saat itu tiba, Canda bakalan masih jomblo, karena sebagai cewek, ternyata Canda termasuk cewek yang lempeng kalo berurusan tentang cinta. Itu kebukti dari beberapa cowok yang PDKT ke dia, tapi dia tanggepin dengan cuek. Hal itu nguntungin gue banget sekaligus bikin gue ketar-ketiir juga.  Dan saat itu tiba, kami naik kelas dua, sekali lagi kami sekelas karena gue dan Canda sama-sama ngambil jurusan IPA. Seketika gue gue berpikir kalo kami memang jodoh. Waktu itu gue juga dapet sobat baru sekaligus temen sebangku, namanya Bian.
            Tahap PDKT gue mulai dari hal-hal yang simpel. Gue mulai lebih sering ngajak dia ngobrol, gue suka kirimin dia SMS (jujur gue belom berani nelpon), gue rutin ngajak dia ‘jalan’ bareng ke halte bus kalo udah pulang sekolah, dan gue rasa Canda seneng-seneng aja sama perlakuan gue yang spesial ini, karena buktinya sikap Canda jadi semakin manis ke gue. Gue ngerasa PDKT gue sukses.
            Hingga pada suatu pagi, kelas yang awalnya hening karena saat itu memang lagi ulangan Kimia, tiba-tiba heboh karena kemunculan dua remaja yang nggak akan pernah gue sangka bakal bisa sama-sama seperti itu. Canda dan Bian berlarian memasuki kelas dengan napas ngos-ngosan.
            “Maaf, Bu, saya telat,” kata Canda kepada Bu Risma yang sedang duduk-duduk anteng di meja kebesarannya.
            “Saya juga, Bu,” sambung Bian sambil mengurut-urut dadanya. Keringat membanjiri tubuh cowok yang menurut cewek-cewek di kelas gue  adalah cowok yang keren dan macho abis.
            Bu Risma mengamati kedua remaja yang berdiri di depannya dari atas ke bawah. “Kenapa kalian telat? Habis pacaran?”
            Seketika anak-anak di kelas gue langsung heboh, ada yang cekakakan, ada juga yang nggak terima kedua orang itu dikatain pacaran.
            “Enggak, Buuuu,” pekik Canda mengalahkan kehebohan anak-anak yang lain. Sedangkan Bian cuma mesam-mesem nggak jelas.
            “Bener mereka pacaran?” Tanya Bu Risma kepada anak-anak sekelas.
            “BENEEEEEERRRRR!!!” seru anak-anak.
            Beberapa anak yang nggak terima bilang, “Enggaaaak.” Tapi diredam oleh suara anak-anak yang lain.
            Canda makin panik, dan gue juga. Kok bisa-bisanya?
            “Ya sudah, kalian boleh lanjutkan pacaran di luar,” kata Bu Risma lalu kembali menghadap kami, “Apa yang kalian tunggu?! Ayo kerjakan ulangannya! Kalian mau saya suruh keluar seperti mereka?” Bu Risma mendelik marah, seketika kami kembali menekuni ulangan kami.
            “Tapi, Buuu,” keluh Canda. Tapi Bu Risma pura-pura budik. Dengan lesu Canda melangkahkan kakinya keluar kelas, begitu juga dengan Bian. Sebelumnya gue sempet menagkap Canda berbicara sesuatu pada Bian.
            “Gara-gara lo, sih!” dumel Canda.
            “Ya maaf,” bisik Bian.
            Apa-apaan ini? Perasaan gue mulai nggak tenang. Selama sisa waktu ulangan Kimia itu, nggak ada satu pun soal yang bisa gue jawab dengan bener. Seketika konsentrasi gue dialihkan oleh Canda dan Bian.
            “Kok lo bisa barengan gitu telatnya sama Canda?” tanya gue saat jam istirahat pertama. Nada bicara gue, gue buat se-tak acuh mungkin.
            “Ooh… tadi kami nyasar,” jawab Bian.
            “Nyasar gimana?” Tanya gue nggak ngerti. Jangan-jangan sebelum mereka sekolah, mereka sempetin jalan-jalan, trus nyasar. Gue mulai dilanda kepanikan.
            “Lo tau kan anjing rabies yang suka ada di persimpangan situ tu?” kata Bian. Gue mengangguk gugup. “Nah, pas gue lewat sana, gue ngeliat Canda lagi juga lagi mau lewat situ. Tapi berhubung ada anjing itu, yaaah, terpaksa deh kami nggak bisa lewat. Gue mutusin buat ngajak Canda negelewatin jalan yang lain, yang ngelewatin gang-gang sempit itu. Nggak taunya kami malah kesasar,” cerita Bian. Tapi kok gue nangkep ada keceriaan di nada bicaranya Bian, seolah Bian bener-bener nikmatin yang dia alamin.
            “Ooh gitu,” kata gue akhirnya. Mau nggak mau gue lega. Seenggaknya semuanya nggak seperti yang gue bayangin. Tapi gue harus mastiin satu hal. “Tapi lo beneran pacaran sama dia?”
            Bian tertawa pelan. “Nggak lah,” jawabnya. Fiuuuuh. Sekali lagi gue lega. “Tapi itu nggak menutup kemungkinan kalo kami nantinya bakal pacaran. Kayaknya gue naksir Canda deh.”
            Gue melotot. “Lo naksir Canda?” desis gue.
            “Iya. Emang kenapa? Kok lo getol gitu nanyanya dari tadi? Kata Bian sambil mmengangkat sebelah alisnya.
            “Nggak kenapa,” kilah gue. Tapi Bian masih mandang gue penasaran. “Nggg, gini, kalo lo naksir dia, kayaknya bisa gue bantu. Kan gue udah temenan dari kelas satu sama dia, jadi gue lumayan deket,” dusta gue. Bego! Bego! Bego! Kenapa malah kata-kata itu yang meluncur dari mulut gue?
            Raut wajah Bian tampak cerah. “Seruis lo?” pekiknya. Gue menggangguk gagu. “Waaah. Thanks ya!”
            Dan selama beberapa bulan inilah yang gue lakuin, gue selalu pura-pura, gue pura-pura seneng bahakan ikut ngeledekin Bian dan Canda. Biannya sih seneng-seneng aja, tapi kok Candanya kesel gitu?
            “Kenapa lo?” Tanya gue suatu hari saat gue liat Canda lagi duduk sendirian di kelas.
            “Sebel aja. Terutama sama lo!” katanya sambil menunjuk muka gue.
            “Emang salah gue apa?”
            “Gue sebel. Kenapa kalian selalu ngeledekin kalo gue pacaran sama Bian? Lo juga ikutan ngompor-ngomporin!” cecernya.
            Gue cuma bisa garuk-garuk kepala gue yang nggak gatel. “Yaah. Gimana dong? Kalian kan pasangan. Udah hal yang wajar kalo kalian diledekin…”
            “Pasangan dari Hongkong! Gue nggak suka sama Bian,” potongnya.
            Deg!
            “Lo nggak suka sama Bian?” ulang gue.
            “Ya iya lah. Gue cuma nganggep dia  temen. Nggak lebih. Lagian kalian suka lebay deh, hal gitu aja dibesar-besarin. Sebel gue.”
            Gue lengsung tersenyum penuh arti. Apa mungkin gue masih punya kesempatan? “Tapi Biannya suka sama lo.”
            “Bodo!” tukasnya. “Gue udah suka sama orang lain,” tambahnya nggak disangka-sangka.
            Seketika hati gue remuk redam. Kesempatan itu bener-bener udah nggak ada lagi.
            “Siapa?”
            “Lo nggak perlu tau?” jawabnya dengan nada ketus.
            Deg! Gue nggak tau apa yang merasuki gue saat itu. Seketika gue marah. Gue marah sama Bian, gue marah sama orang yang ditaksir Canda saat itu. Gue yang bertahun-tahun mendem rasa suka sama Canda, gue yang berbulan-bulan gencar PDKT ke dia, kenapa gue dilangkahin sama mereka? Kenapa gue nggak bisa masuk dalam daftar kehidupannya Canda?
            “Ooh. Gue emang nggak perlu tau. Tapi lo pandang dikit Bian kek. Dia yang udah bertahun-tahun suka sama lo, udah PDKT ke elo. Masa lo perlakuin dia kayak gini, sih?!” kata gue nyaris membentak. Gue bicara seakan-akan memang Bian yang ngalamin itu semua.
            “Hak-hak gue dong nggak suka sama dia. Kenapa lo yang sewot?!” bentaknya.
            “Karena lo nggak tau gimana sakit hatinya dia!” desis gue. Lalu gue beranjak dari samping Canda. Cewek itu cuma terperangah menatap gue.
            Sejak saat itu hubungan gue dan Canda jadi renggang. Kami sama sekali nggak pernah bicara sepatah kata pun. Gue tau, Canda pasti marah sama gue. Dan selama itu pula gue masih pura-pura nggak suka sama dia. Memang berat rasanya, tapi gue harus terbiasa. Hingga akhirnya hari kelulusan pun tiba. Sebagai tradisi, kami juga saling tukar tanda tangan di baju sekolah kami. Tiba saatnya gue dan Canda berhadap-hadapan. Kami udah nggak bisa mengelak lagi. Satu tahun lebih nggak saling ngomong membuat kami canggung di situasi kayak gini.
            “Tanda tangan?” tanyanya sambil menyodorkan sepidol merah kepada gue. Gue mengangguk dan langsung membubuhkan tanda tangan di punggung Canda.
            Sori, Can. Selama tiga tahun ini gue udah jadi pengecut, gue selalu pura-pura dibelakang lo, bisik gue dalam hati.
            Sekarang giliran Canda. Dia tanda tangan di bahu gue.
            “Ada kalanya selama tiga tahun ini gue pernah berharap bisa bersandar di bahu lo, Gi,” bisiknya lirih tepat di telinga gue. Gue serasa kesetrum. Lama gue dibuat tercengang dengan kata-kata Canda barusan. Sampai ketercengangan gue dibuyarkan oleh seruan di tak jauh dari tempat kami berdiri.
            “CANDA!”
            Kami sama-sama menoleh. Ternyata Bian yang manggil. Gue sama Bian biasa-biasa aja, kami tetep jadi sahabat. Dia nggak pernah tau gue suka sama Canda dan nggak pernah nanyain kenapa kami saling diem-dieman.
            “Duluan aja. Ntar gue nyusul.” Canda balas berseru. Lalu Bian kembali meninggalkan kami berdua.
            “Kalian…”
            “Iya. Gue sama Bian udah pacaran. Kemaren tepatnya. Seperti yang lo harapin kan?” katanya sambil tersenyum.
            “Congrats ya!” Cuma itu yang bisa keluar daru mulut gue. Gue juga paksain buat tersenyum. Sementara hati gue udah nggak karuan rasanya.
            “Thanks,” jawab Canda sekenanya.
            Tiba-tiba gue keinget sesuatu. “Trus cowok yang lo suka?”
            “Dia nggak suka sama gue. Jadi, buat apa gue berharap hal yang nggak mungkin,” katanya suram. “Gue nggak tau apa nantinya gue bisa suka atau nggak sama Bian, tapi bakal gue jalanin. Seenggaknya Bian perhatian banget sama gue dan dia jujur…” entah kenapa gue kerasa kesentil denger kata terakhir dari Canda. “Makasih juga ya, Gi. Buat selama ini. Maaf atas yang kemaren-kemaren. Kita lupain aja dan mulai yang baru. Oke?” tambahnya. Sekarang nada suaranya sudah ceria seperti biasanya.
            “Gue juga minta maaf, Can, buat semuanya,” kata gue. Canda lalu meringis, begitu juga gue.
            “Friend?” kata Canda sambil mengulurkan tangannya.
            Gue membalas uluran tangan Canda dan kami bersalaman. “Friend,” kata gue sambil tersenyum.
            Canda berbalik dan berjalan menuju tempat Bian menunggunya, tapi baru beberapa langkah, dia kembali menghadap gue seperti ingin mengatakan sesuatu. Lama gue menunggu, tapi Canda cuma menggigit bibir bawahnya.
            “Irgi, sampai ketemu ya!” katanya riang, lalu melambai pada gue, gue membalas lambaian Canda. Cewek itu tertawa senang dan pergi…
            Sekarang gue menghadap leptop gue, tapi pikiran gue terfokus pada Canda. Udah 8 tahun dari awalnya gue suka sama Canda, tapi gue belum bisa ngelupain cewek itu. Gue udah mencoba nyari pelarian, tapi selalu gagal. Kayaknya gue kena karma. Semuanya pasti karena gue selalu pura-pura di depannya.
            Gue kembali ngecek HP gue dan membaca SMS dari Canda yang dia kirim tadi pagi.
            From: Canda
            Gi, nanti siang lo sibuk ga? Gw mo ketemu sm lo.
            Gw tggu di Galeri Asoka jm 12 ya.
            Gue melirik jam yang tergantung di ruangan kantor gue. Udah jam 11.45. Setahun belakangan ini gue emang nggak pernah kontak-kontakan sama temen SMA gue, terutama sama Canda. Tapi tiba-tiba aja dia ngajakin gue ketemu. Gue mendesah pelan, apa pun yang terjadi, gue bakal siap. Gue segera ngambil kunci mobil dan meninggalkan ruangan.
            Gue sampai di Galeri Asoka tepat jam 12. Sebenernya gue ngerasa janggal dengan tempat Canda ngajak ketemuan. Ini kan tempat jual lukisan.           Memang sih di belakangnya ada kafe, tapi tetep aja aneh. Gue memasuki gedung luas yang disekeliling temboknya digantung lukisan-lukisan. Banyak orang berlalu-lalang di sana, tapi gue langsung mengenali sesosok wanita yang memakai blazer gelap dengan tas dan high heels senada. Dia udah nggak semungil dulu, rambutnya yang panjang juga sudah dipotong sepundak. Dia tengah mengamati lukisan ibu yang sedang menggendong anaknya.
            “Canda!” panggil gue. Wanita itu menoleh dan tersenyum.
            “Hai, Irgi. Long time no see,” katanya ramah.
            “Udah dari tadi?”
            “Lumayan.”
            “Udah makan siang?”
            “Udah. Lo?”
            Gue segera mengurungkan niat gue buat ngajakin dia makan siang. “Udah,” dusta gue. “Bay the way, lo ngajakin gue ketemuan di sini buat apa?” Tanya  gue to the point.
            “Ooh. Gue niatnya mau hunting lukisan, sekalian  pengen ketemuan sama lo. Kantor lo kan deket dari sini. Gila ya, lo udah punya perusahaan advertising sendiri. Habaaaat!” pujinya,
            Gue cuma bisa garuk-garuk kepala.
            “Gi?” panggilnya. Gue menoleh. “Sebenernya gue ngajak lo ketemu buat ngasi ini,” kata Canda. Lalu dia mengeluarkan selembar kartu undangan berwarna merah maroon dari dalam tasnya, dan mengulurkannya ke gue. Gue segera nerima undangan itu. Covernya ada foto Canda dan Bian yang lagi duduk di sebuah dermaga dengan background laut. Masing-masing dari mereka menampakkan kegembiraan.
            Udah gue duga… desah gue dalam hati.
            “Kapan?” Tanya gue.
            “Minggu depan. Lo dateng kan?” tanyanya penuh harap.
            “Gue pasti dateng,” jawab gue. Canda langsung tersenyum lega. “Kenapa nggak lo sama Bian aja yang ngasi langsung ke gue?”
            “Bian lagi sibuk di kantornya. Dia lembur terus sebelum ngambil cuti buat hari H, ” jawab Canda.
            Akhirnya kami memutuskan buat keliling Galeri itu. Kami bercerita banyak hal, mulai dari kuliah kami, kerjaan kami, dan banyak lagi. Hingga akhirnya kami sampai di topik yang bener-bener membuat gue kesentil. Masa SMA.
            “Sebenernya dulu gue suka sama lo,” kata Canda sambil menerawang. Wanita itu senyum-senyum sambil berbicara. Gaya bicaranya pun sangat santai, tanpa beban. “Gue nggak tau kenapa, pokoknya gue suka aja sama lo. Tapi kalian semua malah ngeledekin gue pacaran sama Bian, terutama lo juga,” tambahnya sambil merenggut ke arah gue. Tapi sedetik kemudian dia tersenyum. “But, it was fun kalo dipikir-pikir.” Canda terkikik.
            Sedangkan gue, gue Cuma bisa terpana mandang Canda. “Berarti cowok yang lo certain waktu itu…”
            “Yeah. It was you,” potongnya. “Nggak nyangka kan?” tanyanya. Gue menggeleng. “Gue cuma bisa pura-pura nggak suka sama lo waktu itu. Abiiisss, lo nggak suka gue sih. Nggak lucu kan, masa cewek yang duluan bilang suka…”
            “Can, sebenernya dulu gue juga suka sama lo…” bahkan sampai sekarang, tambah gue dalam hati. Entah apa yang merasuki gue saat itu, tiba-tiba aja gue memberanikan diri buat ngucapin semua itu ke Canda.
            Seketika Canda mengghentikan langkahnya dan memandang gue. “Lo serius…?” Gue mengangguk. “Lo…” kata-kata Canda tercekat. “Kenapa lo nggak pernah bilang? Kenapa?”
            “Sori, Can. Gue nggak pernah punya keberanian. Selama tiga tahun gue cuma bisa pura-pura nggak suka sama lo,” jawab gue lirih.
            Manda mendesah panjang. “Irgiiii….” Gumamnya. Beberapa saat kami hanya bisa memandang satu sama lain. Canda lalu mengamit lengan kanan gue dan menyandarkan kepalanya di bahu gue. “Makasih, Gi. Lo udah suka sama gue. Jujur gue seneeeeng banget. Seenggaknya gue nggak bertepuk sebelah tangan. Tapi yang terjadi waktu SMA dan sekarang, biar kita aja yang tau. Kita tinggalin aja dan mulai sekarang jalanin hidup kita yang baru.”
            “Gue ngerti, Can,” desah gue. “Dan asal lo tau, dari dulu Bian orang yang baik, bertanggung jawab, dan pastinya dia selalu jujur. Dia yang lebih pantes buat lo. Bukan yang lain ataupun gue. Gue bakal berdiri di posisi di mana seharusnya gue berada. Jadi lo tenang aja.”
            “Gue tau,” gumamnya. Lalu gue membelai puncak kepala Canda dengan lembut.
            Canda menegakkan kepalanya, lalu dia melirik jam di pergelangan tangannya. “Gi, gue duluan ya? Gue mesti buru-buru ke kantor. See ya di acara wedding gue…” katanya sambil tersenyum.
            “See ya,” jawab gue.
            Canda melambai kepada gue. Lalu gue membalasnya. Wanita itu berbalik dan berjalan ke tempat mobilnya terparkir. Gue tersenyum memandang punggung Manda yang semakinn menjauh. Gue ngerasa seketika beban yang selama ini ketimbun dalam diri gue ilang begitu aja. Gue udah mengatakan apa yang seharusnya gue katakan dari dulu. Tapi gue nggak akan menyesal. Nggak akan. Karena bagi gue, hidup gue yang baru sudah ada di depan mata, begitu juga dengan Canda yang lain.

***

NB: Gaaaah. Bisa dibilang ini cerpen 'menye-menye' gue yang pertama. Agak nggak nyeleneh juga sebenernya dari tema cerpen yang laen. Yaah. I hope you like it.
.nittak. :)